Thursday 4 March 2010

Abai Perintah Membaca

:: RIAU Today :: - Abai Perintah Membaca
Abai Perintah Membaca
Jumat, 19 September 2008 | 10:27 WIB
Oleh Imron Rosidi
Baru-baru ini, pemerintah mengumumkan bahwa anggaran pendidikan dinaikan sebesar dua puluh persen pada APBN 2009. Sudah semestinya, inisiatif pemerintah tersebut kita sambut dengan gembira sekaligus kita dukung agar wajah dunia pendidikan kita semakin baik dan berkualitas. Apalagi, sebagai bagian dari umat Islam, kita saat ini sedang berada di bulan suci Ramadan.

Ramadan ternyata adalah bulan yang dijadikan Allah SWT sebagai tonggak deklarasi tentang pentingnya esensi pendidikan berupa tradisi membaca bagi komunitas muslim. Pesan tersebut tercantum dengan jelas dalam surat al-Alaq. Turunnya surat tersebut tidak saja dimaknai sebagai tanda kenabian Muhammad SAW, tetapi lebih daripada itu, ia dimaknai sebagai seruan yang universal dan vital. Universalitas dan vitalitas surat pertama yang diturunkan Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW tersebut setidaknya bisa kita lihat dengan jelas pada ayat pertama yang berbunyi Iqra’ (bacalah).

Secara historis, lingkungan sosial yang mengitari Nabi Muhammad SAW —saat surat tersebut diturunkan kepadanya— lebih menekankan pada pentingnya hafalan (memorization). Bahkan hingga abad pertengahan Islam, aspek hafalan masih dominan di institusi-institusi pendidikan Islam. Iqra’ mengandung makna penegasan Allah SWT tentang pentingnya aspek membaca daripada hafalan. Dengan demikian, ayat tersebut dimaksudkan untuk mengubah metode pembelajaran komunitas muslim saat itu dari metode yang menekankan aspek hafalan ke metode yang mementingkan budaya membaca. Sehingga, kata perintah ‘hafallah’ tidak terdapat dalam surat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Sayangnya, sejak turunnya pesan tersebut hingga sekarang, kaum muslim kurang menyadari pentingnya budaya membaca. Kurangnya kesadaran komunitas muslim terhadap deklarasi Allah SWT tersebut mengakibatkan lemahnya daya saing pendidikan Islam di pentas global.

Bukan hal asing bagi kita, sejarah pendidikan Islam di Indonesia juga diwarnai dengan penekanan hafalan daripada membaca. Penekanan aspek membaca daripada hafalan di lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia baru muncul pada akhir abad ke-20. Walaupun demikian, hingga saat ini, tradisi membaca masih belum kuat mengakar di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Padahal, tradisi membaca sebagai esensi dasar pendidikan telah lama diterapkan di dunia barat. Kesadaran dunia Barat tentang pentingnya aspek membaca daripada hafalan telah mampu mengangkat derajat peradaban mereka beberapa digit di atas kaum muslim.

Memang, di dunia pendidikan, tradisi hafalan memiliki nilai positif. Namun, dibandingkan tradisi membaca, tradisi hafalan memiliki kelemahan dalam dua hal. Pertama, hafalan tidak mampu mendorong daya kritis pembelajar. Tradisi hafalan lebih menuntut pengulangan (repetition) yang konsisten. Sebaliknya, tradisi membaca mendorong pembelajar untuk bersikap kritis karena pembelajar diminta memahami isi dan koherensi bacaan. Bukan hal yang asing bagi kita, sikap kritis merupakan persyaratan penting dalam dunia akademik. Tanpa sikap kritis, dunia pendidikan tidak akan mampu melahirkan pengetahuan yang progresif dan berkualitas bagi kepentingan kemanusiaan.

Kelemahan kedua tradisi hafalan adalah ia tidak mampu memproduksi pengetahuan melalui penerbitan buku-buku ilmiah. Sebaliknya, tradisi membaca akan mendorong produktivitas penerbitan buku-buku ilmiah karena membaca akan melahirkan kebiasaan menulis. Kalau diibaratkan dalam kehidupan sehari-hari, orang yang membaca sama dengan orang yang makan. Ketika seseorang makan dengan kenyang, niscaya dia memerlukan pembuangan. Demikian juga ketika seseorang membaca dengan kenyang, dia memerlukan pembuangan berupa menulis. Sehingga, tradisi membaca memiliki korelasi yang kuat dengan produktivitas menulis. Seseorang yang rajin membaca, biasanya, dia akan mudah menulis.

Kalau kita melihat potret dunia pendidikan Islam di Indonesia, ternyata wajah bopeng yang kita lihat pada dasarnya diakibatkan lemahnya penekanan aspek membaca di dalamnya. Deklarasi yang dicanangkan langsung oleh Allah SWT pada bulan Ramadan berabad-abad yang lalu, tidak direspon dengan sigap oleh komunitas muslim hingga saat ini.


Pendidikan kita juga tidak menyediakan fasilitas yang memadai bagi terciptanya budaya membaca. Perpustakaan sebagai ‘nyawa’ institusi pendidikan seringkali tidak diperhatikan dengan baik. Minimnya jumlah buku dan kurangnya pelayanan di sebagian besar perpustakaan kita adalah penyumbang yang cukup besar bagi macetnya budaya membaca sehingga memperlemah daya saing pendidikan kita. Pendidikan kita lebih mementingkan pembangunan fisik daripada memperbanyak jumlah buku dan meningkatkan pelayanan perpustakaan. Sejumlah perguruan tinggi kita berlomba-lomba membangun gedung perkuliahan dan auditorium yang mewah dengan dana miliaran tanpa memikirkan bagaimana caranya menjadikan perpustakaan bermutu. Perpustakaan sebagai pusat pembelajaran yang vital benar-benar telah dinomor duakan di negeri ini.

Di perguruan-perguruan tinggi dunia barat, di Belanda misalnya, anak didik didorong untuk meningkatkan frekuensi membaca. Di samping itu, anak didik dimanjakan dengan fasilitas perpustakaan yang menyediakan jutaan buku dan pelayanan yang efektif dan efisien. Setiap minggu, beban membaca minimal 100 halaman untuk satu mata kuliah sudah biasa diterapkan di sana. Untuk merangsang anak didik berkunjung ke perpustakaan, mereka diminta mencari referensi alternatif minimal tiga judul buku setiap pekannya. Sehingga anak didik dipaksa untuk mengunjungi perpustakaan setiap hari. Mereka diminta aktif mencari sumber-sumber bacaan kontemporer untuk dikomparasikan dengan bacaan baku (obligatory).

Apalagi, tantangan yang paling dahsyat terhadap tradisi membaca saat ini adalah membanjirnya media visual dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal ini dikarenakan mulai tergesernya peran penting budaya membaca ke tradisi menonton. Tidak dibatasinya akses anak didik terhadap media televisi misalnya, bisa mengakibatkan rusaknya tatanan dasar pendidikan kita.

Bulan Ramadan sudah semestinya dimanfaatkan oleh kalangan pendidik dan orang tua untuk memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi anak didik agar terbiasa membaca. Biasanya, saat-saat berpuasa, pikiran memerlukan sesuatu untuk mengisi kekosongan waktu menjelang berbuka. Pada saat itulah, semestinya, anak-anak diberikan bahan bacaan, bukan dibiarkan menonton tayangan televisi.

Kita harus yakin bahwa budaya membaca sangat vital bagi pendidikan kita. Kalau kita tidak yakin, hal itu menandakan keraguan kita terhadap kebenaran Alquran. Hal ini dikarenakan, Allah SWT dengan terang dan tegas telah menyerukan ‘iqra’ di surat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kita tidak hanya dituntut yakin, tetapi juga diwajibkan menerapkannya di dalam kehidupan nyata.***

Imron Rosidi SPd MA, alumnus Universitas Leiden, Belanda. Kini tinggal di Pekanbaru.

No comments: