Friday 19 March 2010

PUASA DAN PILKADA


Oleh : Imron Rosidi, S, Pd, MA

Dimuat di Riau Pos, 27 Agustus 2008

Bagi masyarakat Riau, ada hal istimewa pada bulan puasa kali ini karena pemilihan kepala daerah akan dilaksanakan secara langsung pada bulan tersebut. Momentum kedatangan bulan puasa dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) mungkin dianggap bagi sebagian orang sebagai hal yang tidak istimewa.  Memang, kalau kita melihat sekilas, puasa dan pilkada seolah-olah dua hal yang berbeda. Barangkali, sebagian orang menganggap bahwa puasa adalah  ibadah untuk akherat semata sementara kegiatan pilkada merupakan wilayah sekuler an sich.

Padahal, cakupan puasa sangat luas. Kekuatan ibadah puasa terletak bukan saja pada penguatan spritualitas individu dengan Tuhannya, melainkan juga pengaruhnya dalam wilayah sosial. Bagi individu muslim, menahan lapar semenjak fajar sampai terbenamnya matahari dimaksudkan untuk menempa pribadi muslim untuk peka terhadap lingkungan sosialnya. Kelaparan merupakan kosa kata yang mungkin bukan barang baru bagi empat puluh juta penduduk Indonesia. Namun, lima puluh persen warga Indonesia belum tentu pernah mengecap rasa lapar, utamanya para pemimpinnya. Puasa, dengan demikian, mendorong orang-orang yang mampu secara materi untuk berbagi.

Puasa juga penting sebagai upaya mendorong setiap individu yang melaksanakannya untuk melakukan penghematan. Apalagi saat ini, pemerintah sedang giat-giatnya melakukan upaya penghematan energi.  Kalau 40 juta saja penduduk Indonesia melakukan puasa selama sebulan, sudah berapa miliar penghematan energi yang kita dapatkan. Penghematan itu didapatkan dari penghematan pemakaian alat-alat masak dan minum. Hal itu belum mencakup penghematan belanja konsumsi keluarga. Walhasil, jika kita lihat cakupan puasa yang begitu luas, tak benar kalau puasa semata-semata merupakan wilayah yang tak ada hubungannya dengan keduniawian.

Kita juga mungkin beranggapan bahwa puasa merupakan aktivitas  yang termasuk urusan kaum muslim semata sedangkan pilkada adalah peristiwa yang melibatkan kaum muslim dan non-muslim. Faktanya puasa tidak semata-mata ibadah yang dilaksanakan oleh individu muslim saja melainkan pemeluk agama-agama lainnya. Tidak heran jika dalam al-qur’an disebutkan bahwa puasa merupakan ibadah yang juga dilaksanakan oleh orang-orang sebelum Islam. Penggunaan kata-kata ‘…sebagaimana orang-orang sebelum kamu”  dalam Surah al-Baqarah 128 mengindikasikan bahwa puasa adalah ibadah yang diwajibkan juga bagi pemeluk agama-agama samawi sebelum Islam. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa puasa bukanlah ibadah yang dikhususkan untuk pemeluk agama Islam.

Dalam praktek perpolitikan kita, pilkada langsung merupakan proses penting untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan hati nurani rakyat. Namun, dalam banyak hal, praktek yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman sering kali ditemukan dalam pilkada. Bukan barang baru bagi kita jika untuk mengikuti pencalonan kepala daerah dibutuhkan dana yang tak sedikit jumlahnya. Tidak aneh jika dalam pelaksanaanya kita melihat banyak kecurangan dan manipulasi. Belum lagi, tindakan anarkis bahkan bentrokan antar pendukung calon kepala daerah di tingkatan grass root.

Salah satu penyebab terjadinya praktek manipulasi dalam pilkada adalah adanya anggapan bahwa pilkada hanyalah sebagai proses politik sekuler yang tak ada kaitannya dengan ibadah untuk akherat. Tapi hal itu bukan berarti agama tidak dimanfaatkan oleh para kandidat dalam pilkada. Simbol-simbol agama sering dipakai oleh para kandidat dalam pilkada untuk merengkuh pemilih sebanyak-banyaknya. Mereka berlomba-lomba mencapai tujuan politik dengan berbagai cara. Mereka sama sekali tidak memikirkan implikasinya di kehidupan akherat.

Momentum pelaksanaan  pilkada yang berbarengan dengan kaum muslim berpuasa mengisyaratkan   pentingnya pilkada dilihat sebagai kegiatan yang kental nuansa akheratnya. Pilkada di bulan puasa seharusnya mendorong tindakan dan praktek yang jujur sejak pelaksanaan kampanye hingga hari pencoblosan. Hal ini penting dilakukan karena praktek yang tidak jujur dalam pilkada akan berdampak pada kosongnya nilai berpuasa individu muslim. Hal ini berarti, pilkada di Riau merupakan ‘teguran’ Tuhan akan pentingnya praktek pilkada yang bersih dari segala unsur manipulasi.

Mulai saat ini, para pelaku pilkada harus menyadari bahwa pilkada dalam bulan puasa berimplikasi sangat luas terhadap masa depannya di akherat. Dosa yang berlipat akan dibebankan kepada para pelaku yang kotor dalam pilkada. Sebaliknya, pahala yang berlimpah akan diterima para pelaku pilkada yang jujur.

Saat inilah masyarakat Riau berkesempatan melaksanakan pilkada untuk mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Pelaksanaan pilkada yang jujur akan melahirkan pemimpin yang amanah, jujur dan bertanggung jawab. Pemimpin seperti itulah yang dharapkan mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat Riau lima tahun ke depan. Sebaliknya, pilkada yang kotor di bulan puasa, melahirkan pemimpin yang kotor  dan jauh dari keberkahan. Akhirnya, selamat berpuasa dan berpilkada.

 

No comments: