Sunday 5 August 2007

QUO VADIS PEMBERDAYAAN PENDIDIKAN ISLAM DI RIAU?

Sejarah mencatat bahwa pendidikan Islam di Indonesia memiliki karakeristik yang unik. Pada era kolonial, pendidikan Islam didirikan dengan ‘modal dengkul’ dari para ulama dan semangat warga an sich. Hal itu sebagai upaya untuk menandingi keberadaan pendidikan sekuler yang dijalankan oleh pemerintah Belanda. Tak ada uluran tangan dari pemerintah kolonial dalam bentuk apapun. Sehingga kentara sekali jika pendidikan Islam menjadi anak tiri bahkan ‘anak haram’ pada saat itu. Hal ini antara lain direkam oleh Manfred Ziemek (1986) dan Siok Cheng Yeoh (1994).
Dalam konteks itu, pendidikan Islam di Riau memiliki kesamaan sejarah dengan daerah lain. Ia didirikan dengan semangat dakwah Islam sebagaimana kita temukan di daerah Kabupaten Indragiri Hilir ataupun daerah lainnya. Akibat dari hanya berbekal modal semangat itulah akhirnya dalam perkembangan selanjutnya pendidikan Islam seperti berjalan di tempat. Sumber daya manusia yang mengelola lembaga pendidikan Islam nyaris tidak kualitatif. Sarananya jauh dari persyaratan yang distandarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Lalu pantaskah kita mengharapkan lulusan yang kualitatif dari lembaga seperti itu?
Pendidikan Islam tidak akan mampu bersuara di tengah gerak laju jaman yang merangkak begitu cepat jika tidak segera membenahi segala problem yang melingkupinya saat ini. Pendidikan Islam seperti anak yang kehilangan orang tuanya. Pemerintah pun seperti tidak ada niat untuk memecahkan problem paling mendasar itu. Mengapa pendidikan Islam sangat penting dalam kaitannya dengan Riau?
Pertama, Riau sebagai sebuah propinsi yang memandang budaya melayu sebagai budaya asli komunitasnya sangat menghargai nilai-nilai keislaman dalam struktur sosial masyarakatnya. Dalam berbagai aspek, antara melayu dan Islam memiliki hubungan erat. Dalam memori kita orang melayu sangat identik sebagai pemeluk Islam taat. Berbeda dengan orang Jawa yang dikenal memiliki Islam warna-warni. Sehingga Geertz memberi katogerisasi Islam Jawa dalam tiga ranah, abangan, santri dan priyayi.
Dengan demikian pendidikan Islam di Riau sudah semestinya berada pada posisi yang tidak termarjinalkan. Alangkah sayang dan memalukan jika ada sebuah lembaga pendidikan Islam di Riau yang sama sekali tidak dilirik dan disentuh oleh pemerintah. Terlepas dari adanya dikhotomi antara pendidikan umum dan Islam, jelas menganaktirikan pendidikan Islam merupakan penodaan terhadap citra Riau sebagai daerah yang lekat dengan budaya melayu.
Kedua, sebagai sebuah lembaga, pendidikan Islam saat ini telah tersebar hampir di seluruh daerah di Riau, terutama di pelosok –pelosok yang tidak terjangkau oleh modernisasi . Ketika lembaga pendidikan umum belum lahir, lembaga ini telah didirikan. Ketika infrastruktur belum dibangun, lembaga ini telah lebih dahulu muncul. Ketika listrik belum masuk, lembaga ini lagi-lagi sudah lebih dulu mengambil start. Namun sayangnya, pemerintah sepertinya enggan mengulurkan ‘bantuan’. Dalam hal ini yang saya maksud adalah bantuan pemberdayaan.
Adapun makna pemberdayaan di sini berarti menjembatani ketidaktersedian sarana pendukung untuk memaksimalkan potensi tanpa mengurangi fungsi dan peran lembaga tersebut . Sebagaimana sekarang ini semangat otonomi merupakan ‘mainstream’ dari sistem pendidikan nasional maka sudah semestinya pemerintah daerah mendorong pendidikan Islam di daerah ini untuk berperan optimal. Alangkah menyenangkan dan menggembirakan jika ada sebuah lembaga pendidikan Islam di Riau memiliki gaung nasional.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah daerah untuk melakukan pemberdayaan terhadap pendidikan Islam di Riau. Pertama adalah menjembatani kekurangan tenaga guru bidang sains di lembaga tersebut. Pemerintah daerah semestinya tidak hanya tanggap untuk mencari data berapa besar tenaga guru sains yang dibutuhkan oleh lembaga pendidikan Islam tetapi juga mengusahakan ketersediaan tenaga guru tersebut di semua lembaga pendidikan Islam. Bahkan kalau tidak memungkinkan tersedianya tenaga tersebut di Riau, pemerintah jangan segan-segan mendatangkan tenaga sains dari luar daerah.
Kedua, pemetaan nilai keunggulan dan kualitas kelembagaan. Setelah ketersediaan tenaga guru sains terpenuhi, -minimal satu guru sains yang bermutu di satu lembaga pendidikan Islam-, langkah selanjutnya adalah pemetaan nilai kualitas kelembagaan pendidikan Islam sebagai pusat keunggulan. Salah satu yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah melibatkan perannya sebagai pelaku perubahan dengan cara mengoptimalkan sarana perpustakaan. Sebagai lembaga keilmuan, sangat aneh jika di sebuah lembaga pendidikan Islam tidak ditemukan satupun perpustakaan yang memadai. Kalaupun pemerintah merasa kesulitan untuk mendorong tersedianya perpustakaan di setiap lembaga pendidikan Islam, minimal di setiap kecamatan harus tersedia satu perpustakaan umum dengan koleksi 5000-20.000 judul dengan pelayanan yang memadai.Jelas hal itu tidak hanya mendorong bangkitnya mutu lembaga pendidikan Islam saja, namun juga lembaga pendidikan umum juga.
Setelah itu, langkah pemberdayaan yang ketiga adalah memproyeksikan satu lembaga pendidikan Islam sebagai pusat lembaga keilmuan di setiap kabupaten. Pemerintah daerah mengarahkan setiap pemerintah kabupaten untuk melakukan analisis yang teliti tentang keunggulan masing-masing lembaga pendidikan Islam. Apa yang telah direncanakan oleh Bupati Indragiri Hilir untuk membuka sekolah unggul di daerahnya jelas sebuah inisiatif yang positif. Namun yang belum jelas adalah apakah ia akan mendirikan lembaga pendidikan umum atau Islam dan apakah pendirian itu mulai dari nol atau memilih lembaga pendidikan yang sudah ada untuk dijadikan sekolah unggulan. Kabupaten lain mungkin sudah mendirikan tapi sejauh yang saya tangkap belum ada gaungnya sama sekali.
Tearakhir, memproyeksikan UIN Sultan Syarif Qasim sebagai satu-satunya pusat keunggulan Islam Asia Tenggara. Kita barangkali masih terkenang dengan visi dan misi Riau 2010 sebagai pusat keunggulan kebudayaan melayu di Asia Tenggara. Lalu mengapa kita tidak menjadikan satu-satunya lembaga pendidikan tinggi Islam negeri di daerah ini sebagai pusat penelitian yang unggul untuk kawasan Asia Tenggara?.
Impian untuk menjadikan UIN Suka sebagai pusat keunggulan Islam Asia Tenggara sudah semestinya mulai sekarang sudah harus dirintis. Jalinan kerja sama dengan IIAS (International Institute for Asian Studies) di Universitas Leiden mungkin bisa dijadikan langkah awal. Selanjutnya dilakukan kerja sama dengan universitas – universitas lain. Kapan lagi kalau tidak sekarang? Apalagi Riau terkenal sebagai representasi kawasan melayu yang kental dengan tipikal ke-asian tenggara-annya.

1 comment:

Anonymous said...

Thanks for writing this.