Sunday 5 August 2007

Surat Buat Ibu

Ibu, aku sekarang belum mandi. Tadi habis dari Rotterdam melihat pameran lukisan abad 17. Pelukisnya Vingboon, wong londo kalau ibu yang menyebut, ternyata melukis negeri kita dengan indah dan mirip dengan bentuk aslinya. Padahal ia melukis berdasarkan catatan belaka, dan dia sama sekali belum melihat apa yang ia lukis itu. Tapi sayang, daerah kita tidak dia lukis. Dia mungkin tidak akan pernah tahu daerah kita bahkan pimpinan kita juga mungkin akan bilang, “Daerah mana itu pulau kijang?”.
Aku baru mau mengerjakan tugas yang banyak sekali. Di sini aku benar-benar merasakan beban belajar, bu. Mungkin inilah kesalahan pendidik kita yang memanjakan muridnya sehingga di sini aku harus giat lagi ‘membaca’ bacaan asing dengan susah payah. Sebabnya di Indonesia aku tidak pernah disuruh oleh guru atau dosen untuk membaca buku-buku dalam bahasa asing dan sekarang aku mati kutu, bu. Tak usahlah kau salahkan guru atau dosenmu, pasti itu yang ibu akan bilang. Ya, aku idak menyalahkan mereka. Tidak akan bu, karena hidup mereka sudah susah ditengah gejolak harapan terhadap pemerintah yang tak kunjung terwujud. Apalagi mau memikirkan hal-hal kecil itu.
Aku masih teringat ketika masih kecil kau penuhi segala pintaku,kini aku sudah besar belum bisa memenuhi secuilpun harapanmu. Maafkan aku Ibu. Aku ingin memberimu sesuatu yang berarti karena kaulah yang pertama yang aku lihat ketika membuka mata di bumi ini. Doakan aku ibu.
Aku sekarang berada di Leiden, Belanda untuk menuntut ilmu sekaligus untuk memenuhi harapanmu agar kelak aku bisa menyimpan uang dari hasil bea siswaku untuk menebus kerinduan ibu pergi ke tanah suci, mekkah. Tapi di sini tidak enak, bu. Aku terkenang wajahmu, kebaikanmu dan segala cintamu. Aku tidak akan pernah bisa menemukan wanita sebaik ibu. Tidak akan pernah! aku yakin itu. Ibu adalah bayangan Tuhan di bumi ini.
Ibu tidakkah kau ingat waktu kita di sebuah toko buku? waktu itu aku ingin sebuah buku tapi karena Ibu tak punya uang lalu apa yang ibu lakukan? Ibu menyuruh aku ‘mencuri’ buku itu? Ibu, Ya Allah, kau relakan kita berbuat dosa hanya untuk penuhi keinginanku itu. Kita miskin, Ibu, siapa yang disalahkan. Pemilik toko buku itu atau …siapa ibu?
Lalu, ketika aku tidak punya buku-buku pelajaran dan suatu pagi aku minta pada ibu, ibu bilang “ya, nanti sore kita beli” Di wajahmu saat itu tersimpan beban berat yang baru aku sadari setelah aku besar. Aku tahu ibu takut minta uang pada ayah, sebagaimana aku. Ya, ayah bagiku adalah lelaki yang menakutkan bagiku pada saat itu. Dan sosok ibu adalah bagaikan malaikat yang melindungi tumbuh kembangku.
Lalu sorenya ibu berikan uang padaku ketika aku tanya,”Darimana uang ini, bu?” Engkau hanya tersenyum. Dan baru aku sadari setelah aku dewasa uang itu kau dapatkan dari menghutang ke tetangga. Ibu, aku tidak bisa lagi menulis surat ini karena air mataku sudah mulai membasahi pipiku. Aku berharap engkau memberi maaf padaku.
NB: Sajadah pemberianmu selalu aku pakai untuk menghadapNya, bu. Mudah-mudahan ibu senang karena hanya itulah satu-satunya yang aku bisa untuk menyenangkan ibu saat ini.
Salam,
Imron Rosidi (Mahasiswa Program TIYL S2 di Universitas Leiden Belanda)
Smaragdlaan 222 Leiden 2332 JZ The Netherlands

No comments: